Kamis, 19 Desember 2013

Natal yang Penuh Kebohongan


OPINI | 14 December 2010 | 09:37 Dibaca: 65   Komentar: 1   0


TAK usah pun daku berpanjang labar, kita semua pasti sudah mafhum apa itu Natal. Sebagaimana lazimnya hari besar keagamaan, Natal mestinya menjadi waktu ekstra bagi penganutnya untuk introspeksi, berkaca, merenung, dan makin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bagi orang yang suka mengulur-ulur waktu pertobatannya, Natal sejatinya dijadikan sebagai garis START untuk memulai kehidupan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Mahakasih yang ada dalam diri Yesus Kristus. Dan jika sudah bertekad menjadi manusia baru, jangan pernah lagi menoleh ke belakang. Jangan ulangi lagi kesalahan dan dosa. Jangan jadikan Natal hanya pertobatan sementara waktu.
Terus terang, Natal memang terang terus. Tetapi manusia yang merayakannya—yang memperingatinya saban Desember, bahkan para rohaniwan yang mengkhotbahkan kesucian dan kesederhanaan Natal di mimbar dengan mulut berbusa-busa—selalu diliputi kegelapan. Kenapa? Karena kebanyakan dari kita sudah tidak bisa lagi melihat makna Natal yang sebenarnya. Meski gereja dan rumah-rumah bahkan jalan- terang benderang oleh lampu-lampu pohon natal nan gemerlap itu, mata hati kita pada dasarnya tertutup. Bahwa Natal adalah sukacita, itu sangat tepat. Namun bersuka cita tidak harus diwujudkan dalam kemeriahan dan keglamouran.

Natal sejati berlangsung dengan sederhana. Coba renungkan, Sang Juru Selamat, pemilik alam semesta, datang ke dunia lewat derita dan kesengsaraan. Dimulai dari sang bunda, perawan Maria yang terhina di mata manusia karena hamil tanpa pernah menikah. Derita itu makin berat tatkala dia dan suaminya, Yusuf, harus melakukan perjalanan jauh menuju Betlehem, dalam rangka memenuhi titah Kaisar Augustus yang ingin menghitung jumlah rakyatnya.
Tetapi itu semua adalah rencana agung Allah, di mana Putra-Nya harus dipersiapkan untuk menderita di dunia, dan pada puncaknya DIA harus menderita dan mati di kayu salib untuk dosa manusia.
Derita itu makin lengkap setelah di Betlehem pun Maria dan Yusuf tidak punya tempat menginap. Lagi-lagi masyarakat Betlehem menolak-NYA, dengan cara tidak sudi memberikan sepetak ruangan pun untuk sekadar berteduh bagi seorang perempuan hamil di malam itu. Akhirnya, kedua pasangan itu mendapati kandang domba yang sedang kosong. Di sanalah mereka beristirahat sambil menantikan lahirnya Bayi Kudus itu.
Sederhana dan penuh derita, itulah Natal yang pertama. Dan pada dasarnya itulah makna Natal yang sejati. Kita yang hidup di era ultra-edan ini, mungkin tidak harus menderita untuk memperingati Natal, namun setidaknya kita harus merayakannya dengan sederhana. Tidak usahlah harus ada gemerlap lampu, namun hati dan jiwa kitalah yang terang benderang menyambut suka cita sejati itu.
Tentang bersahajanya Natal, semua kita pasti mengerti. Para pendeta di mimbar dengan mulut berbusa-busa selalu mengingatkan hal ini. Tetapi apa yang kita saksikan setiap perayaan Natal di gereja atau di gedung? Dekorasi dihias sedemikian wah, pohon natal dihias dengan lampu yang sangat gemerlap, pemain musik, penyanyi berlatih habis-habisan sampai pulang dini hari. Sound system ditata dengan apik sehingga menghadirkan bunyi yang kinclong, bahkan bila perlu belasan monitor disusun sebesar lapangan voli agar pemandangan di mimbar bisa disaksikan para jemaat yang ada di depan. Dan, satu lagi, perayaan Natal belum lengkap bila tidak ada konsumsi! Jemaat pun banyak yang merasa wajib mengenakan baju baru untuk menghadiri Natal.
Di perayaan Natal, semua orang terharu menyanyikan “Malam Kudus”, semua jemaat terhibur dengan megahnya suasana ruangan perayaan. Semua orang takjub dan kagum dengan khotbah pendeta. Semua pengunjung terhibur dengan lagu dan tarian bahkan drama Natal yang dipentaskan. Tetapi apakah semua pulang dengan damai sejahtera? Sulit menjawabnya. Dan, itukah Natal yang sesungguhnya? Mari bertanya kepada cermin di rumah masing-masing. (Sekadar informasi, cermin di rumah saya sendiri sudah retak!)

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar